Selasa, 17 April 2012

bukti kebenaran teori evolusi

Kompas, 26 Juni 2006 memberitakan pembuktian teori evolusi. Perkiraan yang disampaikan pada berita Kompas tersebut, berasal dari sekitar 70 juta tahun yang lalu, dan mulai hidup sekitar 400 juta tahun lalu.
Dalam konteks beberapa tulisan sebelumnya, penelitian adanya fosil hidup dengan umur awal sampai jutaan tahun lalu, benar-benar membuktikan bahwa teori evolusi (hipotesis) atau neo-darwinisme atau lompatan evolusi tidak berlaku pada hewan yang bernama Coelacanth. Namun, seperti biasa dan menjadi selalu biasa, penemuan ikan yang berusia jutaan tahun yang lalu, karena tidak menjelaskan adanya pentahapan teori evolusi, maka kemungkinan besar beritanya menjadi bohong. Kemungkinan kedua, ya teori evolusinya yang bohong.
Namun, saya yakin juga, selalu ada pendekatan baru untuk mempertahankan teori evolusi, misalnya ikan Coelacanth memang benar ikan purba, itu induknya. Jadi ada yang berevolusi, ada juga yang tidak. Nah jenis ikan ini tidak berevolusi. Karena ia ada dari sejak fosil sampai hidup di abad ke 20, sementara saudara-saudara lainnya telah berubah, ada juga yang dari darat ke laut atau sebaliknya, bahkan mungkin sudah menjadi ikan Paus.

Wikipedia.com menjelaskan begini:Seekor ikan purba yang dikenal sebagai Coelacanth. Coelacanth (artinya “duri yang berongga”, dari perkataan Yunani coelia, “κοιλιά” (berongga) dan acanthos, “άκανθος” (duri), merujuk pada duri siripnya yang berongga) adalah nama ordo (bangsa) ikan yang tergolong ikan purba. Di Indonesia, khususnya di sekitar Manado, Sulawesi Utara di mana ikan ini ditemukan, dikenal sebagai ikan raja laut.
Fosil hidup
Hingga tahun 1938, ikan yang berkerabat dekat dengan ikan paru-paru ini dianggap telah punah semenjak akhir Masa Kretaseus, sekitar 65 juta tahun yang silam. Sampai ketika seekor coelacanth hidup tertangkap oleh jaring hiu di muka kuala Sungai Chalumna, Afrika Selatan pada bulan Desember tahun tersebut. Kapten kapal pukat yang tertarik melihat ikan aneh tersebut, mengirimkannya ke museum di kota East London, yang ketika itu dipimpin oleh nona Marjorie Courtney-Latimer. Seorang iktiologis (ahli ikan) setempat, Dr J.L.B. Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939. Ia memberi nama Latimeria chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator museum dan lokasi penemuan ikan itu.

Coelacanth pertama yang ditemukan di Afrika Selatan, di hadapan nona Courtenay-Latimer, kurator museum East London.Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, di mana beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambique, Madagaskar, dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama.

Pada tahun 1998, enampuluh tahun setelah ditemukannya fosil hidup coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya di sana oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan raja laut secara fisik mirip coelacanth Komoro, dengan perbedaan pada warnanya. Yakni raja laut berwarna coklat, sementara coelacanth Komoro berwarna biru baja.

Ikan raja laut tersebut kemudian dikirimkan kepada seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Erdmann, yang kemudian bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari LIPI, menerbitkan temuannya di Nature, 1998. Maka kini orang mengetahui bahwa ada populasi coelacanth yang kedua, yang terpisah menyeberangi Samudera Hindia dan pulau-pulau di Indonesia barat sejauh kurang-lebih 10.000 km. Belakangan, berdasarkan analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, beberapa peneliti Indonesia dan Prancis mengusulkan ikan raja laut sebagai spesies baru Latimeria menadoensis.

Dua tahun kemudian ditemukan pula sekelompok coelacanth yang hidup di perairan Kawasan Lindung Laut (Marine Protected Areas) St. Lucia di Afrika Selatan. Orang kemudian menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat populasi-populasi coelacanth yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain Nusantara, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut, terutama di sekitar pulau-pulau vulkanik. Hingga saat ini status taksonomi coelacanth yang baru ini masih diperdebatkan.

Catatan lain
Coelacanth memiliki ciri khas ikan-ikan purba, ekornya berbentuk seperti sebuah kipas, matanya yang besar, dan sisiknya yang terlihat tidak sempurna (seperti batu). Baru-baru ini, di Bunaken ditemukan seekor coelacanth hidup berenang dengan bebasnya. Ukurannya kira-kira 2/3 tubuh orang dewasa dan tubuhnya berwarna ungu gelap.

Pikiran Rakyat, Kamis, 15 Juni 2006

Coelacanth, Ikan Purba yang Tersisa

PERNAHKAH Anda melihat wujud asli ikan purba yang oleh kalangan evolusionis dianggap sebagai nenek moyang ikan modern dan sudah dinyatakan lenyap dari muka bumi sejak 70 juta tahun silam? Jika belum, cobalah sekali-kali mampir ke Gedung Zoologi, Puslit Biologi LIPI Cibinong, Kab. Bogor. Di sana kita bisa menyaksikan spesimen ikan purba yang diduga sudah ada sejak zaman Devonian 400 juta tahun silam. Itu berarti 200 juta tahun lebih purba dari usia dinosaurus yang baru muncul di muka bumi pada zaman Triasic. Ikan purba itu dikenal dengan nama coelacanth.
”Raja laut”

Nama coelacanth berasal dari kata-kata Yunani ”coelia” (berongga) dan ”acanthos” (duri), yang berarti ikan dengan duri berongga. Berdasarkan catatan sejarah, ikan coelacanth hidup pertama kali ”ditangkap” kalangan ilmiah pada tanggal 23 Desember 1938, ketika Kapten Hendrick Goosen mendapatkannya dari Laut India, tak jauh dari mulut sungai Chalumna. Oleh Marjorie Courtenay-Latimer—seorang kurator museum di East London, Afrika Selatan—ikan tersebut diserahkannya kepada ahli ikan dari Universitas Rhodes, Prof. J.L.B. Smith. Untuk menghormati jasa Latimer dan Smith, ikan purba itu kemudian diberi nama Latimeria chalumnae Smith.

Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro, sebelah barat Madagaskar, sebagai habitatnya. Di situlah beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990-an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambique, Madagaskar, dan Afrika Selatan. Namun, semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama dengan yang ada di Kepulauan Komoro.

Pada 1998 atau enam puluh tahun sejak temuan pertama, seekor ikan coelacanth tertangkap jaring nelayan di perairan Manado Tua, Sulawesi Utara. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan yang oleh nelayan disebut ”raja laut” itu kemudian dikirimkan kepada seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Edmann. Bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari LIPI, Mark menerbitkan temuannya di majalah ilmiah Nature, 1998.

Beda jenis

Semula, para ilmuwan mengira coelacanth yang ditemukan di perairan Sulawesi Utara itu sejenis dengan coelacanth (Latimeria chalumnae Smith) yang terdapat di Kepulauan Komoro. Namun belakangan, berdasarkan analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, meski masih satu ordo, kedua ikan itu berbeda. Beberapa peneliti Indonesia dan Prancis kemudian mengusulkan ikan ”raja laut” asal Manado itu sebagai spesies baru dengan nama ilmiah Latimeria menadoensis. Spesimennya kini tersimpan di Museum Zoologi, Puslit Biologi LIPI Cibinong.

Dua tahun kemudian ditemukan pula sekelompok coelacanth yang hidup di perairan Kawasan Lindung Laut (Marine Protected Areas) St. Lucia di Afrika Selatan. Orang kemudian menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat populasi-populasi coelacanth yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain Nusantara, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut, terutama di sekitar pulau-pulau vulkanik.

Menurut Ika Rachmatika S., dkk., dari Puslit Biologi LIPI, ada beberapa karakter morfologi dan genetika yang membedakan antara Latimeria chalumnae asal Kepulauan Komoro dan Latimeria menadoensis asal Manado. Latimeria chalumnae berwarna kebiru-biruan dengan noda putih yang tidak beraturan pada sisiknya, sedangkan Latimeria menadoensis berwarna kecokelat-cokelatan dengan noda putih yang tidak beraturan pada sisiknya. Selain itu, ada perbedaan karakter meristik. Latimeria menadoensis memiliki jumlah jari-jari pada sirip punggung kedua yang lebih sedikit, namun memiliki jumlah jari-jari sirip ekor tambahan lebih banyak. Secara keseluruhan, dari 23 karakter meristik dan morfometrik yang diamati, sekira 52 persen di antaranya berbeda.

Dari segi genetika, yang dilihat dari susunan DNA dua ruas mitokondria (yang mensandikan sitokrom b dan 12 S ribosom (RNA) terlihat adanya perbedaan atau substitusi mutasi sebanyak masing-masing 4,85 persen (transisitransversi 13:1) dan 2,85 persen (transisi-tranversi 2, 4:1) pada susunan basanya. Dengan menggunakan laju substitusi nukletid 2 persen per juta tahun untuk DNA sitokhrom b, dan 1 persen per juta tahun untuk DNA 12 S rRNA, diketahui bahwa L. chalumnae dan L. menadoensis telah terpisah sekitar 1.220.000 tahun (DNA yang mensandikan sitokrom b) dan 1.420.000 tahun (DNA yang mensandikan 12 S rRNA) dari nenek moyangnya. Data ini memberi petunjuk, populasi ikan Latimeria di Kep. Komoro dan Sulawesi merupakan dua jenis yang berbeda, tetapi keduanya masih berkerabat dekat.

Ikan fosil

Ikan coelacanth tergolong ke dalam ordo Coelacanthiformes. Berdasarkan fosilnya, pertama kali muncul di bumi pada zaman Devonian (sekitar 400 juta tahun lalu). Selain Latimeria chalumnae dan Latimeria menadoensis, semua anggota Coelacanthiformes telah punah dan hanya menyisakan fosil. Bahkan sebelum Latimeria chalumnae ditemukan di Kep. Komoro pada tanggal 23 Desember 1938, jenis-jenis ikan coelacanth telah diperkirakan punah pada akhir Masa Kretaseus sekitar 65-70 juta tahun lalu. Karena itu, sejak pertama kali ditemukan ikan coelacanth hidup, ikan itu pun disebut ikan fosil.

Ikan ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh jenis-jenis lainnya seperti adanya tujuh sirip yang berlobi daging, sirip tambahan pada sirip ekornya, sambungan intrakkranial di bagian atas kepalanya, dan adanya tulang rawan yang berisi cairan sebagai penyangga tubuhnya yang disebut notokorda. Selain itu, posisi anus dan saluran reproduksinya berada tepat di tengah dua tonjolan sirip perutnya yang seolah-olah berada di tengah pangkal kedua kaki sebagaimana lazimnya pada manusia.

Dengan adanya sirip-sirip berlobi daging yang menyerupai tonjolan tangan dan kaki, ikan coelacanth diasumsikan berkerabat lebih dekat ke hewan berkaki empat (tetrapoda) dan ke ikan paru (lungfish) dari pada ke jenis-jenis ikan biasa yang kita lihat. Ikan-ikan yang biasa kita lihat atau grup Teleostei bernenek moyang ikan yang disebut Paleoniscoids yang melimpah di zaman Carbon sampai permulaan Triasic (lebih kurang 100 juta tahun lalu).

Tingkah laku yang unik

Jenis-jenis Latimeria diketahui hidup pada kedalaman antara 150-2000 m dengan suhu sekitar 18o C. Jenis ini menyukai lereng vulkanis dan bergua lava. Pada siang hari ikan ini lebih senang tinggal di dalam gua dalam kelompok kecil (sampai 14 ekor). Di malam hari ikan ini akan keluar mengikuti arah arus untuk mencari makan. Latimeria tergolong ikan predator; makanannya adalah ikan-ikan kecil yang hidup di dasar dan kolom pertengahan. Hal ini sesuai pula dengan struktur saluran pencernaannya yang memiliki lambung dan usus yang berdinding tebal dan berlipat-lipat.

Meski mendapat julukan ”raja laut” dan tampang yang garang, ikan coelacanth cenderung pemalas. Mungkin karena bentuk tubuhnya yang tegap, gerak renangnya tergolong lambat. Walaupun memiliki sirip dengan tonjolan daging yang menyerupai tangan dan kaki, ikan ini tidak dapat berjalan di atas dasar perairan sebagaimana dibayangkan. Namun ketika berenang, kedua pasang sirip perut dan dadanya memperlihatkan gerakan seperti derap kuda yang berjalan perlahan. Selain itu, diketahui ikan Latimeria kadang-kadang menunggingkan tubuhnya ke dasar perairan secara vertikal dengan bagian moncongnya menyentuh dasar perairan. Dalam posisi seperti ini sirip ekornya akan bergerak atau berputar dalam posisi siku-siku terhadap tubuhnya.

Latimeria tergolong ikan yang mengalami pembuatan di dalam tubuh dan melahirkan anak. Pola perkembangbiakan ini berbeda dengan jenis-jenis ikan pada umumnya yang melakukan pembuahan di luar tubuh. Walaupun pembuahan dan perkembangan telur terjadi di dalam saluran reproduksi, telur yang berkembang tidak mendapat sari makananan langsung dari induk seperti halnya pada hewan-hewan menyusui (mamalia). Telur-telur yang dihasilkan seperti pada Latimeria chalumnae tergolong sedikit (paling banyak 26 butir) dan disimpan di dalam saluran reproduksi atau oviduct. Sesudah dibuahi memerlukan waktu yang cukup lama (sekitar satu tahun) sampai berkembang menjadi anakan yang siap dilahirkan. Potensi reproduksi yang rendah dan penyebarannya yang terbatas menjadikan ikan ini dalam status konservasi terancam punah. (Syarifah, S.P./dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar