Rabu, 18 April 2012

teori fungsional dan struktur

Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori
komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories
(Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan
tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat.

Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan
‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori
sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam
khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara
mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang
berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut
pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural
atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang
paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.

Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang
kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan
fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi
kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.

Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang
akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen
atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi”
atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada
fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi
komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai
Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan
sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah
ditentukan.

Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto,
1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan. Michael J. Jucius
dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam mencapai
tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap,
tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan
terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan
meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor,
nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas
dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain
melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia
dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi
dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal
ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha
manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran
Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan
bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi
menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan
bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem
tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada
susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam
sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam
proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest
group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur
politik.

Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran
Young dan Robert K. Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma,
maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik
sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara struktur yang
dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari
infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi
kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan
rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai politik
sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi
politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai
politik menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi
tersebut.

Studi struktur dan fungsi masyarakat
merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para
pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer. Pendekatan ini memiliki
asal-usul sosiologi dalam karya penemunya, yaitu Auguste Comte. Menurut
Comte, sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan
dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas struktur masyarakat, Comte
menerima premis bahwa ”masyarakat adalah laksana organisme hidup”, akan tetapi
dia tidak benar-benar berusaha untuk mengembangkan tesis ini. Seorang ahli
sosiologi Inggris dari pertengahan abad ke-19 Herbert Spencer, membahas
lebih lanjut berbagai perbedaan dan kesamaan yang khusus antara sistem biologis
dan sistem sosial. Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu
organisme hidup (1895: 436-506) dapat diringkas sebagai berikut: (1) masyarakat
maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan; (2) disebabkan oleh
pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body)
maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan
pula, di mana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula
bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin
kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecil,
misalnya bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih
sempurna, misalnya manusia; (3) tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh
organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu;
”mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada
manusia, hati memiliki struktur dan memiliki fungsi yang berbeda dengan
paru-paru; demikian pula dengan partai politik sebagai struktur
institusional memiliki struktur dan fungsi serta tujuan yang berbeda dalam
sistem politik, sistem budaya dan atau sistem ekonomi; (4) baik di dalam sistem
organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan
perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara
keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan
demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga,
pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama
lain; (5) bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan suatu
struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem
peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis
biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan
sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.

Dengan hati-hati Spencer menegaskan bahwa apa yang
diketengahkan itu hanyalah merupakan subuah model atau analogi yang seharusnya
tidak diterima begitu saja. Masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme
hidup; di antara kedua hal itu terdsapat sebuah perbedaan yang sangat penting.
Di dalam sistem organisme, bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu
hubungan yang intim; sedangkan dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat
seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang
kadang-kadang sangat terpisah. Asumsi dasar sosiologi dari pemikiran
kaum fungsionalis bermula dari Comte dan dilanjutkan dalam karya Spencer,
ialah bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain. Demikian pula dengan
partai politik, merupakan satu kesatuan dalam sistem yang terdiri dari
difusi-difusi atau bagian-bagian yang saling berkaitan dan ketergantungan satu
sama lain, tidak berfungsinya satu difusi akan mengakibatkan disfungsional pada
difusi lain. Kegagalan suatu partai sebagai sebuah sistem organisasi dalam hal
ini Partai Persatuan Pembangunan ditengarai tidak atau adanya salah satu atau
beberapa bagian penting yang fungsional sehingga membuat yang lain
disfungsional dan menyebabkan kefatalan secara keseluruhan, sebagai
konsekuensinya kegagalan mencapai tujuan partai yaitu menjadi pemenang dalam
pemilu atau memperoleh dukungan suara terbanyak dari konstituen.

Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu
perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar
lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile
Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan
organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh
bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap
langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang
suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern
fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan
ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi
bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu
depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga
dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian
terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya
akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat
dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium,
atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada
ketidakseimbangan atau perubahan sosial.



Fungsionalisme Durkheim ini tetap
bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad ke-20,
yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Malinowski dan
Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai
organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang
hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam
batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial,
pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural
merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer:

Fungsi dari
setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau
upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan
sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang
diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown
(1976:505).

Jasa Malinowski
terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari Brown, mendukung
konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi menganalisa
kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian yang
dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: 551).

Dalam membahas sejarah fungsionalisme struktural, Alvin
Gouldner (1970: 138-157) mengingatkan pada pembaca-pembacanya akan
lingkungan di mana fungsionalisme aliran Parson berkembang. Walaupun kala itu
adalah merupakan masa kegoncangan ekonomi di dalam maupun di luar negeri
sebagai akibat dari depresi besar. Teori fungsionalisme Parsons mengungkapkan
suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala
itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya
optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia
II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka
yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh
pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap
benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat
masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas
srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak
bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan
sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.

Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka
yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham
ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi
tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas
bagian-bagian yang saling tergantung. Coser dan Rosenberg (1976: 490)
melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam
mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah
mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas
kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit
sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan pola-pola
yang relatif abadi”.

Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, atau
pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari
struktur atau sistem sosial yang masing-masing merupakan bagian yang saling
bergantungan satu sama lain (norma-norma mengatur status dan peranan) menurut
beberapa pola tertentu. Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi
sebagai ”konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada
adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya”.
Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam
struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma
sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut
saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih
luas.



Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural
telah berkuasa sebagai suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di
dalam sosiologi kontemporer Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di
dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota ”American Sociological
Association”, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa
fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu
sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme
struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya
untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut
sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.

Robert K. Merton, sebagai
seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan
pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang
pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui
bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia
juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu
mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton
tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu
melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya
anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya
temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492)
model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang
paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”

Model analisa fungsional Merton merupakan
hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang
menggunakan penulis besar seperti Max Weber. Pengaruh Weber dapat
dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957:
195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern;
(1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan
formal; (2) ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang
jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan
tujuan-tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan
ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi
tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis; (6) berbagai kewajiban serta
hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta
terperinci; (7) otoritas pada jabatan, bukan pada orang; (8) hubungan-hubungan
antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala
besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik
tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.

Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat
batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan
menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam
postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang
terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi
satu. Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat
dibatasi sebagai ”suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial
bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai,
tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau
diatur” (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang
sempurna dari suatu masyarakat adalah ”bertentangan dengan fakta”. Sebagai
contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat
fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok)
akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.
Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting
(kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana
agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai
banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.

Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi
(elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu
terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai contoh,
beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok
(masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak
fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas
kelompok yang dianalisa harus diperinci.

Postulat kedua, yaitu fungsionalisme
universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal
menganggap bahwa ”seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki
fungsi-fungsi positif” (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui
Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku
sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen
kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi
fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang
fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama
yang dicontohkan tadi, seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi
positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan di antara
keduanya.

Postulat ketiga melengkapi trio
postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan
bahwa ”dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang
harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan
dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton, 1967: 86).

Dalam penelitian ini, walaupun
menggunakan jenis atau desain penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
studi kasus, pendekatannya tetap objektif, karena peneliti tetap dalam posisi outsider
yang menggambarkan, menganalisa dan menginterpretasikan hasil penelitian
sebagaimana yang dikemukakan oleh informan. Adapun untuk mengkaji secara
operasional mengenai fungsi komunikasi politik pada Partai Persatuan Pembangunan
untuk melihat kegagalannya dalam pemilu, digunakan teori-teori pendukung yang
sesuai dengan objek kajian penelitian yang sifatnya aplikatif. Oleh karena
penelitian ini lebih menekankan pada metode kualitatif-studi kasus; maka fungsi
dan kedudukan teori-teori di sini lebih merupakan ”rambu-rambu” yang membatasi
wilayah fenomena yang diteliti.

Salah satu pendekatan sosiologi komunikasi yang digunakan
untuk menelaah sistem politik dalam hal ini fungsi komunikasi politik pada
Partai Persatuan Pembangunan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya
adalah teori struktural fungsional sebagai teori umum (general theory)
dalam disiplin ilmu komunikasi. Teori struktural fungsional sebagaimana Garna
(1996: 54) mengemukakan, Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah
atau teori dapat menjelaskan gejala-gejala dan institusi sosial dengan
memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun oleh gejala sosial dan
institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka fungsional
memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts).
Kedua, struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan
sosial yang mapan dan sudah memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi
merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial tadi.

Menurut Sendjaja (1994: 32) mengemukakan bahwa model
struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut: (1) sistem dipandang
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan; (2)
adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang
bisa mempengaruhi sistem; (3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang
esensial untuk kelangsungan sistem; (4) adanya spesifikasi jalan yang
menentukan perbedaan nilai; dan (5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian
secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.

Dalam mengkaji fungsi komunikasi dalam sebuah partai , maka digunakan
konsep struktur sosial dari Radcliffe Brown yang mengemukakan bahwa,
struktur sosial dalam hal ini struktur dalam partai politik merupakan dasar
untuk pendekatan ”struktural fungsional” di mana rangkaian relasi-relasi sosial
yang kompleks dan berwujud itu analoginya seperti organisme hidup dalam biologi
yaitu: (1) adanya relasi sosial di antara para individu; (2) adanya perbedaan
individu; dan (3) adanya kelas sosial menurut peranan sosial mereka (Garna,
1996: 50). Untuk itu berbicara tentang struktur sosial dalam hal ini struktur
dalam partai politik akan erat kaitannya dengan fungsi-fungsi yang melekat pada
struktur partai politik tadi. Artinya, juga turut membahas tentang sistem
politik, hukum, budaya, dan kekerabatan yang hasilnya nanti berbentuk sebuah
model, namun masih diragukan sebagai sesuatu yang konkret. Ditambahkan menurut Raymond
Firth bahwa, struktur sosial berarti menentukan relasi sosial yang penting
dalam menentukan tingkah laku manusia dalam masyarakat yang dapat ditinjau
dari: (1) status; (2) peranan; (3) nilai-nilai dan norma-norma; dan (4)
institusi sosial.

Fungsi komunikasi politik sebuah partai, secara
sosiologis juga relevan dengan kondisi yang digambarkan oleh Robert K.
Merton melalui teori struktural fungsional yang dianggap lebih pragmatis
dan konkrit dengan asumsinya sebagai berikut; asumsi pertama,
satuan-satuan masyarakat berfungsi; andaian bahwa semua kepercayaan yang umum,
unsur-unsur kebudayaan, atau kebiasaan yang umum seperti institusi sosial dan
aktifitas sosial adalah berfungsi bagi keseluruhan sistem sosial ataupun sistem
kebudayaan.

Untuk mengetahui aktifitas sosial, norma dan kepercayaan
tertentu dalam suatu masyarakat, sebenarnya dapat dilihat bagaimana satuan atau
bagian tertentu itu dalam lingkup keseluruhan masyarakat, seperti melihat
sebagian dari seluruh masyarakat dan manakah yang berfungsi secara khusus dari
sistem ekonomi ataukah politik; asumsi yang kedua, fungsional itu
bersifat sejagat atau universal; andaian ini bersifat positif karena
unsur-unsur organisasi sosial atau tingkah laku itu haruslah memenuhi fungsi
yang berfaedah apabila masih berwujud dalam jangka waktu tertentu.

Keadaan itu kemudian mengandung makna bahwa tidaklah
semua unsur memenuhi fungsi yang positif. Mungkin tidak semua unsur itu
berfungsi bagi seluruh masyarakat, tetapi pada sisi lain ada unsur yang
berfungsi pada bagian yang satu dan tidak berfungsi pada bagian lainnya. Unsur
yang tidak berfungsi pada bagian tertentu memiliki nilai negatif dan
menimbulkan ketidakpahaman sistem. Sehingga tidak berfungsi (disfungsional)
atau menceraiberaikan kemampuan keseluruhan sistem sosial; asumsi yang ketiga,
tanpa kekecualian (indispensibility) yang termasuk dalam dua konsep,
yaitu: kebutuhan yang berfungsi dan konsep praktis, institusi sosial, yang
dengan perspektif fungsional ini mengungkapkan suatu pendekatan tentang
kehidupan sosial atau kehidupan diri kita sendiri dalam suatu masyarakat. Dalam
analisis sosial terdapat suatu perbedaan antara fungsi yang tampak (manifest),
dan fungsi terpendam (latent). Fungsi yang tampak adalah tindakan tingkah
laku sosial yang dialami oleh para individu tersebut. Karena itu selalu ada
kemungkinan dari sebagian sistem kepercayaan, adat kebiasaan, dan tingkah laku
sosial lainnya yang tidak atau kurang berfungsi bagi sebagian anggota
masyarakat lainnya.

Walaupun teori struktural fungsional banyak manfaatnya,
namum kritik dan revisi atas teori ini masih terus berlangsung, diantaranya
kekurangan teori ini dikemukakan oleh Garna (1996: 114-117) sebagai berikut:
(1) keyakinan bahwasanya ada masyarakat yang tanpa lapisan sosial harus
diabaikan; (2) beberapa tindakan dan institusi sosial tampak tidak nyata
hubungannya dengan tindakan dan institusi sosial lainnya; (3) teori ini
beranjak dari pengalaman lapangan formatif untuk menemukan bahwa masyarakat itu
dapat dipahami sebagai suatu sistem yang berkaitan dan rasional, tanpa melihat
kaitan unsur-unsur budaya yang diteliti masa silam; (4) pertimbangan teori ini
sebagian terletak hanya pada gambaran eksplanasi yang memerlukan fakta yang
diketahui dan mampu diobservasi, terutama kebudayaan material atau benda-benda
yang tampak.

0 komentar:

Posting Komentar